“Aku merindukan saat-saat itu”
Kata seorang pria tua dengan logat Jawa yang sangat kental
Sekental kopi hitam panas yang mengepul di tangan kirinya
Tampak matanya sayu, terbungkus kelopak mata yang berkerut digerogoti waktu
Ia tersenyum sendu, kemudian menyesap kopinya dan mulai bercerita
Aku, Kamu, dan Hujan
Hari ini hujan turun lagi
Terlihat rintik-rintik air hujan bersanding menuruni jendela ruang tamuku
Tempat kita tenggelam dalam hangatnya dekapan
Menikmati sentuhan angin yang dingin sambil menunggu datangnya pelangi
Bertanya-tanya, apa yang mungkin lebih baik dari ini
Perandaian Tentang Penantian
Dulu kau berkata kepadaku
Kau sudah lelah mengembara
Lelah melompat dari satu hati ke hati yang lain
Tak sanggup lagi lari dari kejaran rindu yang mengekang
Hujan dan Senja Selamanya
“Biip…biip…”
Handphoneku bergetar dengan keras
Seolah tidak sabar untuk menyampaikan sebuah rindu
Kulirik, ada namamu terpampang di layar
Andai kamu lihat senyumku saat itu
Cerah, bahkan langit pagi ini tak sanggup menandinginya
7 Hari
Senin, 07.30 pagi
Apa yang lebih menyebalkan daripada dipaksa bangun
Ketika kamu seharusnya masih mendekap dibawah pelukan selimut
Untuk menyambut kehidupan
Yang tidak pernah berhenti menghakimi dirimu yang muda dan renta itu?
Ah… Gigi-gigi susuku ini hanya bisa menggerutu
Namun, ada sesuatu yang berbeda
Ya, saat itu juga menjadi saat pertama aku melihatmu